Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

Sintesis Intelektual Ibnu Rusyd: Nalar Demonstratif sebagai Kewajiban Syar'i

Penulis. Anischa Guna Putri Mahasiswa Prodi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pamulang Serang

Banten, xbintangindo com --

Pemikiran Ibnu Rusyd merupakan salah satu tonggak paling signifikan dalam sejarah filsafat Islam karena mampu memperlihatkan bahwa nalar dan syariat tidak berada dalam posisi yang saling menegasikan. Ia menawarkan sintesis yang kokoh antara perintah agama dan kewajiban intelektual sehingga menghadirkan paradigma yang memposisikan rasionalitas sebagai sarana religius. Dalam kerangka pemikiran ini nalar demonstratif bukan sekadar perangkat logika, melainkan instrumen epistemologis yang mengantarkan manusia menuju pemahaman yang tertata rapi dan hampir mencapai kepastian. Dengan demikian para pemikir dan cendekiawan tidak hanya diperkenankan untuk berpikir filosofis, tetapi justru dibebani kewajiban moral serta religius untuk mengembangkan metode tersebut.

Ibnu Rusyd berangkat dari premis bahwa al Quran berkali kali mendorong manusia untuk menggunakan akal. Perintah untuk memperhatikan alam, memikirkan ciptaan, serta menimbang argumen secara rasional menunjukkan bahwa aktivitas intelektual bukan hanya bersifat opsional, melainkan masuk ke wilayah kewajiban. Menurutnya perintah tersebut tidak mungkin dipenuhi jika manusia hanya berhenti pada argumen yang bersifat retoris atau dialektis yang biasanya memiliki daya persuasif tetapi tidak memberikan kepastian pengetahuan. Oleh karena itu metode demonstratif yang berlandaskan premis pasti dan kesimpulan teruji merupakan bentuk tertinggi dari ketaatan terhadap perintah ilahi untuk mencari kebenaran.

Di tengah ketegangan historis antara pendekatan tekstual dan rasional Ibnu Rusyd menyusun argumen yang menunjukkan bahwa syariat dan filsafat sesungguhnya memiliki tujuan serupa yaitu penemuan kebenaran. Syariat menyampaikan kebenaran melalui bahasa simbolik dan metaforis agar dapat dipahami semua kalangan. Filsafat menyampaikan kebenaran melalui analisis mendalam yang memerlukan pelatihan intelektual. Ketika keduanya dipahami secara tepat tidak akan ada pertentangan hakiki. Jika tampak ada ketidaksesuaian maka masalahnya terletak pada interpretasi manusia bukan pada ajaran wahyu atau hasil penalaran rasional. Dalam posisi ini Ibnu Rusyd menolak keras klaim yang menegaskan bahwa penggunaan akal dapat mengancam keyakinan. Baginya akal justru mengembalikan keyakinan kepada makna terdalam yang selalu selaras dengan pencarian ilmiah.

Ia kemudian membedakan jenis argumen ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah argumen retoris yang berfungsi membangkitkan keyakinan masyarakat awam. Tingkatan kedua adalah argumen dialektis yang bermanfaat bagi para teolog dalam diskusi keagamaan. Tingkatan tertinggi adalah argumen demonstratif yang menjadi wilayah para filsuf. Tingkatan terakhir ini diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan intelektual memadai. Kewajiban tersebut muncul karena kelompok ini memiliki peran strategis dalam menjaga agar pemahaman agama tidak terjebak dalam kesalahpahaman literal. Dengan demikian masyarakat memperoleh jaminan epistemologis bahwa ajaran agama terus dipahami secara sehat dan proporsional.

Di samping itu Ibnu Rusyd menegaskan bahwa banyak ajaran agama menggunakan bahasa metaforis agar dapat dipahami secara luas. Metafora dalam teks suci tidak dimaksudkan untuk menciptakan kebingungan, melainkan untuk menyampaikan kebenaran yang tidak selalu mungkin ditangkap oleh semua kalangan secara langsung. Karena itu kelompok yang mampu bernalar demonstratif berperan sebagai penerjemah yang mengungkapkan makna terdalam dari pesan tersebut tanpa menghilangkan sakralitasnya. Apabila muncul pertentangan antara makna literal dan hasil penalaran pasti maka makna simbolik harus dijelaskan kembali dengan tetap menjaga otoritas wahyu.

Gagasan Ibnu Rusyd memiliki relevansi besar dalam dunia kontemporer. Di tengah meningkatnya polarisasi antara kelompok yang mengedepankan pendekatan tekstual dan kelompok yang mendukung pendekatan ilmiah pemikirannya menawarkan jembatan dialog. Ia mengingatkan bahwa iman tidak harus berada dalam ketegangan dengan ilmu. Sebaliknya iman memperoleh kekuatan ketika ditopang oleh pemahaman yang tepat terhadap realitas. Dengan menjadikan pencarian pengetahuan sebagai tindakan religius ia mengembalikan akal ke posisi terhormat dalam tradisi Islam sekaligus mengoreksi stigma yang menganggap filsafat sebagai ancaman bagi keimanan.

Lebih jauh pemikiran Ibnu Rusyd memberikan landasan etik bagi budaya ilmiah. Para cendekiawan bukan sekadar bekerja untuk menghasilkan teori melainkan menjalankan amanat keagamaan untuk menjaga integritas pemahaman umat. Tanggung jawab ini menuntut kejujuran intelektual kerendahan hati serta komitmen terhadap kebenaran. Penekanan pada etika ini menunjukkan bahwa rasionalitas bagi Ibnu Rusyd bukan hanya persoalan teknis melainkan bagian dari pembentukan karakter moral yang mendukung kehidupan religius.

Dengan keseluruhan gagasan tersebut Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa jalan menuju kebenaran menuntut sinergi antara akal dan wahyu. Nalar demonstratif bukan ancaman bagi syariat melainkan sarana untuk memahami tujuan ilahi secara lebih mendalam. Sintesis ini tetap relevan hingga kini karena memberikan fondasi bagi dialog antara tradisi keilmuan Islam dan perkembangan ilmu modern tanpa harus terjebak dalam pertentangan semu. Melalui pemikiran ini ia menegaskan bahwa pencarian pengetahuan adalah bentuk tertinggi dari pengabdian kepada Tuhan.


penulis: Anischa guna putri 

Mahasiswa prodi administrasi negara fakultas ilmu sosial dan politik universitas pamulang serang

Previous
« Prev Post
Show comments
Hide comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *